Kamis, 24 Maret 2011

Makalah teori-teori dalam penelitian sastra


BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

            Sastra adalah setiap bahasa berbentuk syair berisi imajinasi yang baik, ilustrasi yang indah, makna yang kuat dan hikmah yang sesuai, yang berpengaruh terhadap pembinaan jiwa, kepekaan rasa dan kefasihan lisan (Laelasari dan Nurlailah, 2006).
            Karya sastra terdiri atas berbagai jenis; ada yang berupa puisi, novel, cerpen, dan sebagainya. Di dalamnya karya sastra terdapat berbagai hal yang dapat dikaji, baik itu dari tokoh yang ada dalam cerita, gaya bahasa pengarang, maupun amanat yang ingin disampaikan pengarang  kepada pembaca melalui isi cerita atau isi puisi yang dibuatnya.
 Untuk melakukan suatu penelitian di bidang sastra, tentunya seseorang harus menggunakan suatu teori, metode ataupun teknik yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dari karya sastra tersebut.
            Begitu banyak teori, metode, dan teknik yang dapat kita gunakan untuk mengkaji karya sastra. Namun, yang digunakan tentunya hanya salah satu dari sekian banyak teori, metode, dan teknik yang ada.

B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan pemaparan di atas,  adapun  yang menjadi pokok permasalahan adalah: “Apa sajakah yang menjadi teori-teori  dalam Penelitian Sastra?”

C. Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan teori-teori yang dapat digunakan dalam Penelitian Sastra.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang ingin dicapai dari isi makalah ini adalah:
1.    Memberikan gambaran umum mengenai teori-teori dalam pengkajian isi karya sastra.
2.    Menambah   pengetahuan  tentang  teori-teori  dalam  pengkajian  isi karya sastra khususnya bagi pencinta sastra dan bagi yang ingin mengkaji sebuah  karya sastra.

                                                                BAB II
PEMBAHASAN


BEBERAPA  TEORI  DALAM  PENELITIAN  SASTRA


A.  Struktural (Objektif)
            Teori ini memandang dan menelaah karya sastra dari segi intrinsik yang membangun suatu karya sastra, yaitu tema, alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa. Teori ini mengkhususkan penelaahan karya sastra itu sendiri tanpa melihat unsur pengarang dan pembaca (Nensilianti, 2002).

B. Intuitif
            Metode intuitif dianggap sebagai kemampuan dasar manusia dalam upaya memahami unsur-unsur kebudayaan. Manusia memahami kebudayaan jelas dengan pikiran dan perasaannya, yaitu dengan intuisi, penafsiran, unsur-unsur, sebab akibat, dan seterusnya. Sejajar dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka setiap komponen diperbaharui sekaligus disesuaikan dengan objek yang dipahami.
            Ciri-ciri khas metode intuitif adalah kontemplasi, pemahaman terhadap gejala-gejala kultural dengan mempertimbangkan keseimbangan antara individu dengan alam semesta. Dikaitkan dengan zamannya yang jelas metode intuitif memiliki hubungan yang erat dengan hermeneutika.
            Metode intuitif kontemplatif, demikian juga metode intuitif hermeneutis jelas telah digunakan dalam memahami sastra, khususnya sastra Indonesia sebelum lahirnya strukturalisme.
C. Hermeneutika
            Secara etimologi hermeneutika berasal dari kata hermeneuein, bahasa Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Secara mitologis (ibid.) hermeneutika dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan pesan Ilahi kepada manusia. Pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri.
            Dikaitkan dengan fungsi utama hermeneutika sebagai metode untuk memahami agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa di antara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra. Pada tahap tertentu teks agama sama dengan karya sastra. Perbedaannya, agama merupakan kebenaran keyakinan, sastra merupakan kebenaran imajinasi. Agama dan sastra adalah bahasa, baik lisan maupun tulisn Asal mula agama adalah firman Tuhan, asal mula sastra adalah kata-kata pengarang. Baik sebagai hasil ciptaan subjek Illahi maupun subjek kreator, agama dan sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak, seperti disebutkan di atas, kedua genre terdiri atas bahasa. Dipihak yang lain, keyakinan dan imajinasi tidak bisa dibuktikan, melainkan harus ditafsirkan (Ratna, 2004).
            Hermeneutika adalah konsepsi interpretasi dari ilmu tafsir kitab suci dan penjelasan teks sastra yang bertradisi panjang, tujuannya adalah untuk memberikan penjelasan teks yang pasti dengan jalan menerapkan lingkaran hermeneutis (Laelasari dan Nurlailah, 2006).
D. Strukturalisme Dinamik
            Strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik, yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamik mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felik Vodicka (Fokkema, 1997:31). Menurutnya, karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai.

E. Semiotik
Semiotik ini pada dasarnya merupakan pengembangan pendekatan struktural, yaitu penelahaan sastra dengan mempelajari setiap unsur yang ada di dalamnya, dan menganggap bahwa semua itunya itu adalah penting, juga melihat suatu karya sastra sebagai sesuatu yang terikat kepada sistem yang dibentuknya sendiri, sehingga sistem yang ada di luarnya tidak berlaku terhadapnya (Nensilianti, 2002).
Laelasari dan Nurlailah  (2006) Semiotik adalah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem lambang dan proses perlambangan.
ü     Semiotik Sastra
Sastra dalam bentuk karya atau naskah juga mengandung makna tanda-tanda, sebagai tanda-tanda nonverbal. Kulit buku, susunan warna, tebal buku, dan tipografi tulisan, dianggap sebagai sistem tanda. Untuk menafsirkannya secara semiotis maka setiap tanda dihubungkan dengan groun, denotatum, dan interpretant.
              Dikaitkan dengan aspek gound tersebut, maka teks sastra pun memiliki ciri-ciri qualisign, sinsigns, dan legisigns. Ketiga istilah terbentuk atas dasar signs dengan prefiks ‘quali’ (kualitas), ‘sin’ (singular), dan ‘lex’ (hukum, undang-undang). Qualisigns adalah citra, ide, dunia kemungkinan, dan akan menjadi nyata apabila dimasukkan ke dalam sinsigns. Sinsigns adalah tampilan dalam kenyataan, tanda tak terlembagakan, tanda tanpa kode. Legisigns adalah tanda yang sudah terlembagakan, tanda atas dasar peraturan yang berlaku umum (dalam lingkungan kebudayaan tertentu, dalam hal kesusastraan tertentu), sebagai sebuah kode dan konvensi, diapahami dengan cara membedakannya dengan karya bukan sastra, bukan fiksional.
ü           Semiotik Sosial
Semiotoka sosial, menurut salah seorang pelopornya, yaitu Halliday (1992: 3-4), adalah semiotika itu sendiri, dengan memberikan penjelasan lebih detail dan menyeluruh tentang masyarakat sebagai makrostruktur.
Sebagai kajian akademis, seperti disinggung di atas, semiotoka sosial dimaksudkan sebagai langkah-langkah dalam memanfaatkan sistem tanda bahasa dan sastra sekaligus kaitannyadengan kenyataan di luarnya, yaitu masyarakat itu sendiri.


Perbedaan semiotika sosial dengan semiotika sastra:
            Semiotika sosial tetap berangkat dari sistem tanda, dengan sendirinya dengan memanfaatkan teori-teori semiotika, sedangkan semiotika sastra berangkat dari asumsi-asumsi dasar hubungan sastra dengan masyarakat, saling mempengaruhi di antara keduanya, dan sebagainya.

F. Stilistika
            Laelasari dan Nurlailah  (2006) stilistika adalah ilmu tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra; cabang linguistik yang menyelidiki bahasa sastra, khususnya gaya bahasa, dan diharapkan dapat membantu filologi dalam menemukan teks asli atau yang paling mendekati aslinya serta penentuan umur teks.

G. Sosiologi Sastra
            Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang berdiri sendiri, sosiologi sastra dianggap baru lahir abad ke-18, ditandai dengan tulisan Madame de Stael (Alberacht, dkk., eds., 1970: ix; Laurenson dan Swingewood, 1972:25-27) yang berjudul De la litterature cinsideree dans ses rapports avec les institutions sociales (1800)).
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.
1.  Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota  masyarakat.
2.   Karya ssatra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3.  Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
4.    Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradsisi lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika.
5.  Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

            Sosiologi sastra merupakan bagian kritik sastra yang mengkhususkan diri dalam menelaah sastra dengan memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan.
Menurut Wellek dan Warren (dalam Nensilianti, 2002) bahwa sosiologi sastra, adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra. Telaah sosiologi ini mempunyai tiga klasifikasi, yaitu:
1.  Sosiologi Pengarang, yakni menyangkut diri pengarang itu sendiri, baik tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain.
2.   Sosiologi karya sastra, yakni menyangkut masalah-masalah karya itu sendiri.
3. Sosiologi sastra, yakni yang memasalahkan pembaca dan penaruh sosialnya terhadap masyarakat.
            Menurut Laelasari dan Nurlailah  (2006)  Sosiologi sastra merupakan sastra karya para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik, dan sosialnya, kondisi ekonomi, serta khalayak yang ditujunya; telaah yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

H. Strukturalisme Genetik
            Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Teori tersebut dikemukakan dalam bukunya  yang berjudul The Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine, dalam bahasa Perancis terbit pertama kai tahun 1956.
            Strukturalisme genetik memiliki implikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. Secara definitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas berarti bahwa strukturalisme genetik sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrsinsik dan ekstrinsik.
*      Intrinsik
Penyelidikan intrinsik karya sastra adalah menyelidiki unsur-unsur karya sastra yang membangun dari dalam, misalnya imaji, sajak atau rima, alur dan sebagainya  (Juanda, 2002).
*      Ekstrinsik
Penyelidikan ekstrinsik adalah usaha menafsirkan seni sastra dalam kaitannya dengan lingkungan sosial serta hal-hal yang mendahuluinya; misalnya penyelidikan asal-usul karya sastra, sebab-sebab penciptaan karya sastra. Selain itu peyelidikan ekstrinsik berusaha mencari hubungan karya sastra dengan ilmu-ilmu lain seperti: biografi, filsafat dan sebagainya (Juanda, 2002).

I. Pragmatik
            Pendekatan ini menganut prinsip bahwa sastra yang baik adalah sastra yang memberi kesenangan dan manfaat bagi pembacanya.
Jadi, pendekatam pragmatis ini menggabungkan antara unsur keindahan dan unsur didaktis (manfaat). Namun, konsep keindahan dan didaktis ini harus disesuaikan dengan kondiisi waktu (Nensilianti, 2002).
            Laelasari dan Nurlailah  (2006) menyatakan bahwa pragmatik adalah syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; susunan pemerintahan; faedah untuk umum, memberikan hasil yangberguna untuk menambah pengetahuan dan berdasarkan kenyataan.
            Pendekatan pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatis, di antaranya berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit maupun implisit, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis.

J.  Fonemis
            Alwi., Dkk. (2003) menyatakan bahwa fonemis  adalah 1) bersangkutan dengan fonem; 2) bersangkutan dengan fonemik; dan 3) berbeda dipandang dari sudut bahasa (dikatakan tentang bunyi-bunyi yang berbeda karena mampu menyatakan kontras makna).

K. Kajian Sastra Lisan
            Laelasari dan Nurlailah  (2006) sastra lisan adalah suatu karya yang dikarang berdasarkan standar bahasa kesusastraan yang disampaikan secara paralel dari satu orang ke orang lain dalam bentuk yang tetap secara lisan.
           
    BAB III
 PENUTUP



A. Simpulan
            Terdapat  beberapa  jenis  teori  yang  dapat  digunakan  dalam penelitian sastra, antara lain:   Struktural (Objektif); Intuitif; hermeneutika;  struktural dinamik; semiotik,  yang  terdiri  atas  semiotik  sastra  dan  semiotik  sosial;  stilistika,  sosiologi  sastra,  strukturalisme  genetik,  pragmatik,  fonemis,  kajian  sastra lisan, dan sebagainya. 
            Bagi para peneliti sastra tentunya dapat memilih salah satu teori yang akan dijadikan acuan atau pedoman dalam pengkajian isi karya sastra, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya.

B. Saran
            Adapun saran yang dapat penulis sampaikan adalah bagi para pembaca yang ingin mengetahui lebih jelas mengenai teori-teori sastra yang ada, dapat membaca atau sebaiknya memiliki buku mengenai teori penelitian maupun pengkajian sastra.
  

DAFTAR PUSTAKA



Juanda. 2002. Teori Sastra. Tidak diterbitkan. Makassar: UNM.

Laelasari, dan Nurlailah. 2006. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Mulia.

Nensilianti. 2002. Himpunan Materi Perkuliahan Kritik Sastra. Tidak diterbitkan. Makassar: UNM.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar