Kamis, 24 Maret 2011

PERMATAKU YANG HILANG TELAH KUTEMUKAN KEMBALI

“ Cerpen”



PERMATAKU YANG HILANG TELAH KUTEMUKAN KEMBALI
Oleh : Hasbullah Said

DIAMBANG SORE. Terpaan bias mentari sore semakin redup merayap perlahan menerpa diatas pucuk-pucuk pepohonan nan rindang, menggusur gerah udara siang menuju malam yang kian mendekat. Dengan langkah perlahan aku berjalan menuju ruang tengah rumahku, meraih telpon yang sedang terlelap tidur diatas sebuah buffet tua. Aku bergegas menghubungi teman kampusku yang berada diseberang sana. Keburu jemari tanganku salah pencet satu digit sehingga tersambung kepada seseorang yang aku tidak kenal sebelumnya.
“ Halo, selamat sore“ begitu ujarku sebagai salam pembukaan, setelah aku yakin telpon telah tersambung dengan benar.
“ Selamat sore“ dari seberang sana kudengar suara perempuan menyahut dengan nada sangat lembut.
“ Apa boleh aku bicara dengan Bayu ?”
“ Siapa,… Bayu ?” kembali dia berujar dengan nada sedikit ragu.
“ Ya, benar sekali mbak”
“ Mungkin anda salah sambung karena di sini tidak ada yang bernama Bayu “ sahutnya kedengaran ramah lagi lembut bagaikan bisikan halus.
“ Oh, maaf kalau begitu aku telah mengganggu kesibukan mbak “ balasku dengan nada penyesalan.
“ Tidak apa-apa, namun kalau boleh aku tahu ini dari siapa ?”
“ Diash, jawabku singkat menyebut nama samaran yang aku sering pakai bila menulis cerpen di koran. Mendengar nama itu pembicaraan kami terhenti sejenak sepertinya dia berpikir sesaat mengingat-ngingat sesuatu kemudian dia lanjutkan bicaranya.
“ Ow, nama itu sepertinya tak asing lagi bagiku “ kedengaran suaranya seperti sedang dirasuk oleh rasa penasaran.
“ Kenalnya dimana mbak “ pembicaraan kami segera kupotong karena penasaran pula dibuatnya.
“ Ehem,kudengar dia mendehem tipis, dan sesaat kemudian ia lanjutkan bicaranya padaku dengan suara terbata-bata.
“ Kalau tidak salah, nama itu sering aku temui di koran pada pelataran sastra budaya. Dan tulisannya paling banyak menyita perhatianku, karena kegemaranku senang membaca cerpen dan thema serta alur ceritanya kadang sangat menyentuh perasaanku“ begitu ucapnya perlahan meyakinkan aku, dengan nada sangat antusias.
“ Nama itu mungkin hanya kebetulan sama mbak “ kataku akrab berpura-pura menepis.
“ Jangan begitu dong, seorang penulis yang bijak harus bersikap jujur dan terbuka” ujarnya lagi berfilsafat sepertinya ingin mengenalku lebih dekat. Tapi,… tapi nama itu kan banyak yang sama “sekali lagi aku mencoba menghindar darinya.
“ Ya,benar, tidak semua yang bernama Diash itu adalah penulis, akan tetapi penulis yang aku kenal di koran adalah Diash, benar tidak terserah dari anda”
“ Ehem, aku mendehem perlahan, lalu senyum sendiri dibalik gagang telpon yang aku genggam. Perempuan itu pintar pula berfilsafat, begitu pikirku. Tak mampu aku menyembunyikan identitas diriku, karena dia membuntutiku terus sepertinya sudah sangat sulit untuk lepas dari jeratannya,lalu aku lanjut bicara padanya.
“ Halo, jujur aku katakan bahwa ucapan mbak benar sekali, tapi, … tapi.
“ Tapi, …apa?” cepat dia potong bicaraku dengan nada ingin tahu.
“ Tapi boleh tidak, aku tahu dengan siapa ini aku temani bicara” pintaku dengan nada serius.
“ Hanya itu, sangat mudah,Yulianti Sri Astuti”
“ Jadi aku harus panggil siapa ?”
“ Boleh Sri, juga Yuli karena dirumah sering aku dipanggil Yuli”
Mendengar nama itu, tiba-tiba degup jantungku berdetak kencang, aku tertegun sesaat lalu aku teringat seseorang yang pernah aku kenal sangat dekat denganku. Sebelum pembicaraan kami tutup terlebih dahulu Yuli meminta padaku nomor telpon dan alamat rumahku, kemudian pembicaraan kuakhiri dengan ucapan.
“ Terima kasih, selamat sore”
“ Selamat sore” balasnya dengan perlahan lembut. terdengar dari seberang sana.
Seusai pembicaraanku dengan perempuan itu, aku selalu dibuntuti oleh rasa ingin kenal sosoknya lebih dalam. Siapa sebenarnya dia, begitu lembut cara bicaranya, lagi pula cepat akrab denganku ?. Aku ingin bertanya, tapi kepada siapa ? Dan aku bertanya pada diriku sendiri, kenapa perempuan itu selalu mengganggu pikiranku, padahal aku belum pernah mengenal dia jauh sebelumnya,apalagi ketemu dengannya. Sangat aneh dan lucu. Tapi suaranya itu, bagaikan bisikan halus yang selalu menggodaku, “Tulisan anda di koran paling banyak menyita perhatianku karena kegemaranku senang membaca cerpen, hingga kadang ada saja thema atau alur ceritanya sangat menyentuh perasaanku. Begitu ucapnya dengan kata-kata yang sangat halus. Entah apa nama judul cerpen yang dia maksud, karena sudah tak terhitung jumlahnya tulisanku yang telah dimuat dikoran. Seingatku, NOSTALGIA DI SMP. Itu judul cerpen yang paling terkahir kutulis, atau mungkin ada yang lain yang tak sempat lagi kuingat. Entahlah, kata-kata itu selalu saja menghias dibenakku. Aku berupaya untuk melupakan peristiwa itu. Keesokan harinya aku berkunjung ke rumah Bayu teman kampusku, untuk mengembalikan diktat Antropologi Budaya yang aku pinjam beberapa hari lalu. Semua peristiwa yang aku alami kemarin kuceritakan padanya. Namun Bayu tak begitu serius menanggapi bicaraku, dia hanya senyum sinis padaku lalu berujar.
“ Jangan terlalu serius tanggapi omongan seperti itu, kadang ada orang iseng yang sekadar memancing rasa emosi seseorang”
“ Tapi ini benaran Bayu, tidak main-main “kataku serius.
“ Lalu apa yang hendak kau lakukan selanjutnya ?”
“ Ya, tentu paling tidak kamu dapat lagi kenalan baru khan ?” lanjut Bayu bicara padaku dengan mimik seolah mencibir aku. Aku hanya diam saja, tak menghiraukan omomgannya, kemudian segera aku beranjak meninggalkannya dengan hati yang kesal dan dongkol. Malam harinya dalam kamarku yang hangat, aku berbaring sambil membaca-baca buku pelajaranku, karena ujian semester akhir tidak lama lagi akan berlangsung. Namun tak satupun pelajaran yang singgah diotakku, pikiranku melayang-layang diganggu terus oleh kata-kata Yuli seolah terngiang-ngiang ditelingaku. Ah, masa bodoh, peduli amat, begitu desisku sambil berupaya keras untuk melupakan kata-katanya yang sangat lembut.
Suatu sore, ketika aku sedang membersihkan sepeda motorku yang begitu kotor sehabis diguyur hujan, tiba-tiba adikku Indah berteriak memanggilku, mengatakan ada telpon untukku, dari Yuli. Aku berlari-lari kecil menuju ruang tengah rumahku, hatiku berdebar-debar tak karuan ketika hendak mengangkat gagang telpon itu.
“ Hai, Diash, apa kabar ?” dari seberang sana terdengar suara lembut menyambutnya setelah aku balas dengan ucapan, Halo.
“ Baik-baik saja”
“ Ini dengan Diash khan ?”
“ Ya, benar sekali ?” jawabku meyakinkan dia.
“ Masih ingat, tidak ?”
“ Apa itu ”
“ Ketika telponnya salah sambung ”
“ Ya, ingat, dan itu suatu kenangan buatku yang tak terlupakan seumur hidupku”
“ Yang benar dong ”
“ Eh, Diash, aku kini sedang dalam perjalanan menuju luar kota ” sambungnya lagi
“ Kemana ?
“ Ke suatu desa yang tengah dilanda,……………. ” Pembicaraan kami tiba-tiba terputus. Kuulangi lagi dengan ucapan, halo,halo, namun tak ada sahutan darinya. Ku tahu dia pasti pakai HP, yang mungkin tak terjangkau oleh signal karena sudah terlalu jauh ke pedesaan, kalau tidak batereinya lobet atau lemah, dan mungkin juga telah kehabisan pulsa, entahlah apa penyebabnya.
Sesudah menerima telpon itu, aku kian penasaran berat dibuatnya, tertegun sesaat lalu berpikir, tugas apa dia keluar kota ? dan apa pula profesinya ?.
Sayangnya pembicaraan kami terputus sehingga tak dapat kami bicara panjang lebar. Awal mula perkenalan kami hanya lewat pembicaraan di telpon di ambang sore itu, memang aku tak menduga sebelumnya. Kau telah hanyut dalam suatu lingkaran perkenalan semu, hanya gara-gara salah sambung telpon. Dan nama itu yang sangat membingungkan aku, nama boleh sama tetapi belum tentu orangnya sama. Sekiranya diawal perkenalanku kusebut nama yang sebenarnya tidak dengan nama samaran, mungkin kenangan lama sudah terbongkar dari sebuah gudang misteri. Padahal aku berupaya untuk melupakan segalanya. Kukenal Yuli pada tujuh tahun silam teman sekolahku dulu di SMP , dia lanjut ke sekolah Perawatan dan aku lanjut di SMA dan setamat di SMA aku mencoba mendaftar pendidikan AKABRI namun aku gagal dan akhirnya aku balik kuliah disalah satu Perguruan Tinggi di kota ini, dengan memilih program studi Adm. Negara.
Ketika itu disebuah terminal tua di desaku, aku pisah dengannya, karena masing-masing memilih sekolah yang berbeda kota. Dan sesudahnya itu kami tak pernah ketemu lagi hingga kini. Dua hari kemudian Yuli menelponku kembali mengatakan tugasnya diluar kota usai sudah, dan kini dia telah berada kembali dikota ini. Menyampaikan rasa penyesalannya padaku karena tak dapat bebicara panjang lebar diakibatkan HP-nya ketika itu tak dapat berfungsi karena pulsanya telah habis terpakai. Keluar kota bersama dengan tim lainnya dalam rangka penanggulangan penyakit deman berdarah yang tengah melanda sebuah desa terpencil. Dia mengakhiri percakapannya dengan harapan suatu ketika akan berkunjung kerumahku untuk menemui aku.
Keesokan harinya, Indah adikku yang masih duduk dibangku kelas tiga SD. Tidak masuk sekolah pagi itu, karena badannya tiba-tiba diserang mendadak oleh suhu panas yang sangat tinggi, kemudian disusul dengan dingin menggigil dan sekujur tubuhnya muncul bercak-bercak berwarna merah kecil. Untuk sementara kusimpulkan dia Indah adikku terserang deman berdarah. Kami seisi rumah panik dibuatnya tak tahu apa yang hendak dilakukan untuk menolongnya. Segera kularikan ke salah satu rumah sakit yang terdekat agar mendapat pertolongan secepatnya.
Ketika tiba dirumah sakit itu, dipintu masuk ruang UGD. kutemui seorang perempuan muda dengan memakai seragam putih-putih menyambut Indah adikku memapahnya kemudian dibaringkan diatas kereta dorong lalu dibawanya masuk ke ruang UGD. Aku disuruh menunggu di luar duduk diatas bangkupanjang bercat putih itu. Tak lama kemudian suster itu datang menemuiku hendak menanyakan sebab awalnya penyakit yang menimpa adikku. Sebelum aku ditanya, aku menatap wajahnya lekat-lekat, dan betapa kagetnya aku setelah kutahu suster itu adalah Yuli teman sekolahku dulu di SMP. Sesaat jangtungku berdebar kencang kemudian aku berusaha menenangkan perasaanku lalu aku bertanya padanya.
“ Bukan kau Yuli ?”
“ Oh, benar, kau Budi khan ?”
“ Ya, apa oleh-oleh untukku dari luar kota ?” kelakarku sebagai pembuka bicara dengannya.
“ Di mana kau tahu ?” tanyanya heran.
“ Dari Diash ”
“ Diash itu siapa ?” balik dia bertanya padaku.
“ Diash alias Budi ” kaget dia mendengar jawabku, lalu dia beranjak duduk disampingku diatas bangku panjang itu, sembari mencolek pangkal lenganku begitu senangnya bertemu denganku.
“ Kau pengecut, berlindung dibalik kepopuleranmu dengan menggunakan nama samaran membuat aku bingung dan penasaran. ” katanya bercanda.
“ Eh, Budi, Maaf ya, aku masuk dulu ke UGD, aku sedang ditunggu oleh dokter jaga, kali lain kita akan berbincang lebih lama, dan Insya Allah adikmu akan kami rawat dengan baik hingga dia sembuh betul dari sakitnya.” katanya sambil bangkit berlalu menuju ke ruang UGD meninggalkan aku sendirian duduk dibangku panjang bercat putih itu. Hatiku di dalam berbunga-bunga setelah kutahu bahwa dia adalah Yuli yang menelponku beberap hari lalu, dan dia tak lain adalah teman sekolahku dulu di SMP. Seribu nama Yulianti,hanya satu Yuli milikku, yang sempat menghilang beberapa tahun lamanya, kini permataku yang hilang telah kutemukan kembali.
Makassar, Desember 2005

( Sebuah goresan buat : EKI NASTITIE, dengan harapan, semoga permatanya yang hilang dapat ditemukan kembali. )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar