Kamis, 24 Maret 2011

TUTUR BUNGA ALUMNUS PTS DARI DESA ANTA-BRANTA

TUTUR BUNGA ALUMNUS PTS
DARI DESA ANTA-BRANTA
Oleh : Hasbullah Said.-


DINAR melarikan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi di atas aspal mulus, melaju ke utara kemudian belok ke arah timur kota. Terus tancap gas tanpa peduli Bunga di boncengannya meringis ketakutan berpegang erat di pinggangnya setengah lingkar.
Ujung-ujung jilbab Bunga dibalik helem pengaman yang ia kenakan melambai-lambai tertiup oleh derasnya angin kencang, bukti nyata kecepatan sepeda motor yang ia tumpangi berada di atas ambang batas. Cubitan bertubi-tubi mendarat dipunggung Dinar pertanda suatu isyarat tidak setuju dengan kecepatan tinggi berharap agar laju sepeda motornya diperlambat.
Suara rintihan Bunga nyaris tak terdengar olehnya tertelan kesiur angin yang menerpa kencang.
“Berhenti, turunkan aku disini ! “begitu teriaknya dengan suara samar-samar hampir tak terdengar oleh Dinar.
“Sebentar, nanti setelah kita tiba di Pos Kamling depan situ” sahutnya dengan nada tipis dipendengaran Bunga. Gas sepeda motornya segera diundur perlahan lalu berhenti tepat di depan Pos Kamling dibibir jalan protokol.
“Kita istirahat disini “katanya sambil duduk bersamanya di atas balai Pos Kamling.
“Sejak kapan kau jadi pembalap” tanya Bunga lirih setelah sejenak mengatur detak nafasnya yang tak beraturan didera oleh rasa cemas.
“Sejak aku kenal Bunga yang cantik lagi anggun” sahut Dinar bercanda sambil menatap wajahnya yang nampak kelelahan sedikit pucat karena ketakutan.
“Jangan bercanda, ingin rekreasi atau cari mati” bentak Bunga gemetaran.
“Kau sendiri minta diantar pergi rekreasi ke Bantimurung setelah usai diwisuda sebagai ungkapan rasa syukur”, kepada yang Maha Kuasa.
“Benar, tapi tidak dengan cara seperti ini, bagai setan kesurupan haus darah” lanjutnya lagi dengan nada tinggi. Dinar diam sejenak, membiarkan emosinya terlampiaskan. Kendati dihatinya lahir penyesalan yang amat dalam.
“Maaf sayang, aku lakukan itu hanya berharap kita lebih awal tiba, agar tidak terperangkap kemacetan serta teriknya matahari yang akan menyiksamu, namun aku janji,….laju sepeda motorku akan kukurangi, pelan, bahkan pelan sekali hingga kita tiba di permandian alam Bantimurung dengan selamat” ujar Dinar dengan nada memelas sembari menyalami tangan Bunga dengan erat.
Hari masih pagi, namun suasana diseputar permandian Bantimurung telah dipadati oleh pengunjungnya berdatangan dari berbagai penjuru kota. Berdua memilih tempat tak jauh dari air terjun mengalir deras dari atas bukit tak pernah henti sepanjang masa. Bernaung di bawah rindangnya pepohonan yang berhawa sejuk. Tumpahan air dari atas perbukitan terdengar gemuruh menyisakan busa putih keperakan, membuat Bunga merasa betah berlamaan disitu enggan bangkit, kendati matahari perlahan beranjak naik menerpa punggung bukit.
“Aku merasa senang, dan senang sekali, berada disini Dinar” ujarnya setelah sekian lama terdiam, sembari menyodorkan kepada Dinar bekal makanan ringan yang ia bawa dari rumahnya.
“Yuk, silahkan !”
“Terima kasih” balas Dinar sembari meraih sekerat roti berisi kayak beraroma strowbery”
“Akupun demikian karena suasananya sama seperti sedang berada di kampung halaman sendiri” ujarnya lagi sambil memperbaiki letak duduknya bersandar dibalik pohon cempaka bersama Bunga.
“Oh, hampir aku lupa, “selamat” lanjutnya lagi menyalami Bunga dengan senyum menatapnya.
“Terima kasih” balasnya pula dengan tatapan senyum tersungging dibibirnya.
“Kau melamar kerja nantinya dimana” tanya Dinar.
“Dimana lagi kalau bukan dihabitatnya sendiri, Pahlawan tanpa tanda jasa” gurau Bunga disertai senyum sumringah. Kedua-duanya senyum bahagia didua insan yang sedang dimabuk asmara.
Matahari perlahan beranjak naik disela-sela rimbunnya pepohonan. Pengunjung permandian alam Bantimurung semakin ramai berdatangan dari semua arah. Hampir tak ada tempat yang lowong disesaki oleh turis lokal bergerombol disetiap sudut ruang.
“Eh, Bunga, boleh tidak kau cerita sedikit tentang pengalamanmu semasa kau kuliah hingga selesai”
“Kenapa tidak, asalkan kau mau mendengarnya” sahut Bunga sembari memperbaiki duduknya santai bersandar dipohon cempaka.
“Begini,…..” ia mulai bicara, lalu sejenak berhenti mengatur nafasnya mendehem menelan ludah yang tersendat ditenggorokannya.
Aku dilahirkan dan dibesarkan disebuah desa terpencil. Sejak kecil aku bercita-cita ingin jadi guru sekolah. Di desaku ketika itu guru masih sangat kurang, sehingga seorang guru dimata masyarakat pedesaan sangat disanjung dan dihormati karena profesi guru dianggap sangat mulia dibanding dengan profesi atau pekerjaan lainnya. Sayangnya, ketika aku tamat di SMP, Sekolah Guru atau SPG (Sekolah Pendidikan Guru) keburu ditutup dengan alasan kurang kumengerti. Akhirnya dengan terpaksa aku lanjut sekolah di SMA di ibu kota Kabupaten. Setamat aku nganggur lama, tidak lanjut kuliah di Perguruan Tinggi karena ketiadaan biaya. Setelah sekian lama menganggur, didesaku, sebuah Perguruan Tinggi Swasta buka kelas jauh dari salah satu PTS yang berkedudukan di kota Makassar. Tentunya seluruh masyarakat pedesaan menyambutnya dengan rasa antusias karena tak perlu lagi ke kota lanjut kuliah membuang banyak biaya. Bagai jamur di musim hujan, begitu PTS berkembang dengan pesat tersebar dimana-mana membuka kelas jauh dengan istilah filial. Program studi yang ditawarkan Tehnologi Pendidikan, yang dianggap sangat cocok bagi masyarakat pedesaan. Aku mencoba mendaftar sebagai mahasiswa walau harus rela mengorbankan segalanya dengan menjual sebahagian dari harta warisan kedua orang tuaku untuk biaya-biaya kuliahku yang begitu mahal.
Kuliah dilaksanakan sekali dalam seminggu, yaitu hari Sabtu jelang tengah malam. Minggu paginya dosen pengajar baru balik ke Makassar. Kuliah dipadatkan setara dengan pertemuan 37 ½ jam perminggu, itu berdasarkan penyampaian dari pengurus PTS bersangkutan ketika kuliah perdana diadakan. Awalnya, perkuliahan berjalan lancar tanpa ada hambatan yang berarti, sehingga mahasiswa mengikutinya dengan tekun dan antusias. Namun lama kelamaan kuliah mulai berjalan tersendat-sendot dalam satu bulannya pertemuan hanya tinggal satu kali, bahkan kadang sama sekali tak ada kuliah. Karena terlanjur basah, lagi pula biaya yang aku keluarkan sudah tak terhitung jumlahnya, maka aku tetap bertahan aktif mengikuti segala aktifitas perkuliahan dan akhirnya akupun sempat berhasil menyelesaikan studiku dengan meraih predikat sarjana pendidikan.
Beberapa bulan kemudian, seusai aku menyelesaikan studiku pada jenjang program S1, pemerintah Kabupaten melalui BKD (Badan Kepegawaian Daerah) mengumumkan akan merekrut dari berbagai kwalifikasi pendidikan untuk diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil, termasuk pengangkatan tenaga guru dan perawat yang diperioritaskan karena sangat dibutuhkan. Mendengar berita itu, aku sangat gembira karena kesempatan terbaik bagiku untuk melamar menjadi guru. Segera aku berangkat ke ibu kota Kabupaten mendaftarkan diri untuk ikut seleksi calon PNS dengan membawa serta perlengkapan seadanya.
Jejalan para pelamar terlihat berdesak-desakan di depan loket pendaftaran menyodorkan berkas lamarannya kepada panitia seleksi. Lama aku menunggu giliran untuk dipanggil bersama para pendaftar lainnya. Dan tak lama kemudian suara setengah berteriak dibalik loket terdengar menyebut namaku dipanggil.
“Bunga”
“Saya Pak” sahutku sembari berlarian menerobos masuk kerumunan para pendatar didepan loket.
“Maaf, berkas saudara untuk ikut seleksi calon PNS terpaksa kami kembalikan” ujar salah seorang petugas dibalik loket yang mengenakan seragam kain kheky.
“Alasannya Pak” tanyaku bingung penasaran
“Karena tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh Panitia”
“Maksudnya”. tanyaku ulang tak sabar sambil menerima kembali berkas yang diserahkan padaku.
“Ijazahnya ilegal, karena dikeluarkan oleh lembaga PTS yang tidak terakreditasi oleh yang berwenang berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Dikti.
Mendengar jawabnya aku semakin bingung dibuatnya, tak mengerti apa yang ia maksudkan. Lalu kembali aku berteriak dari balik loket pendaftaran memprotes penolakannya.
“Aku ini Pak, bukan berasal dari PTS liar, akan tetapi filial kelas jauh dari PTS ternama yang berkedudukan di Makassar” begitu teriakku emosi.
“Sudah,….sudah,…., lihat ini kalau kau tak percaya” sahut petugas seleksi sembari memperlihatkan padaku sebuah Tabloid Pendidikan dari balik kaca jendela memuat daftar PTS yang tidak terakreditasi. Melihat itu, aku urung kebelakang dengan cucuran keringan dingin yang mengalir membasahi hampir sekujur tubuhku, badanku lunglai bagaikan hancur tak bertenaga. Baru aku sadar bahwa PTS tempatku kuliah tidak terakreditasi alias ilegal. Nasib serupa juga dialami oleh beberapa pendaftar lainnya. Mereka kecewa dan sepakat menuntut pertanggung jawaban dari pimpinan PTSnya yang dianggap sebagai pembohongan publik dengan tendensi penipuan intelektual. Aku segera bergegas pulang ke rumah dengan rintihan hati yang perih, menangis sesunggukan dalam kamarku yang pengap. Impian menjadi seorang Patriot tanpa tanda jasa kini telah sirna, hancur luluh berkeping-keping. Kini tinggal impian bagiku yang tak akan pernah terwujud, entah kapan.
Begitu Bunga mengakhiri ceritanya sambil mengusap air matanya jatuh mengelinding membasai wajahnya yang cantik.
“Sudahlah dik, semoga ada hikmah dibaliknya” bujuk Dinar sambil memeluk Bunga dengan erat sebagai ungkapan rasa simpati padanya.-

oooOOOooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar