Kamis, 24 Maret 2011

NESTAPA SEORANG PEREMPUAN PEMILIK IJAZAH PERGURUAN TINGGI SWASTA

NESTAPA SEORANG PEREMPUAN PEMILIK IJAZAH
PERGURUAN TINGGI SWASTA
Oleh : Hasbullah Said

Sore itu langit cerah. Tak ada awan bergelayut ataupun melintas mengotori langit biru. Hanya sesekali angin lembut berhembus perlahan dari balik perbukitan, tak jauh dari rumah kediamanku. Namun tak mampu mengusikku dari atas balai-balai bambu yang kududuki. Malah semakin terpaku enggan beranjak karena semakin asyik aku menikmati indahnya panorama senja yang menggodaku. Bernaung di bawah teduhnya sebuah pohon harumanis tumbuh di depan halaman rumahku yang sedang berbuah ranum.
Purnama malam perlahan lamban naik menyelinap menampakkan dirinya di balik celah pepohonan yang rindang, seolah senyum manis menatap mayapada ini yang diam termangu. Malampun merayap perlahan menuju gelapnya yang mencekam. Sunyinya malam melahirkan bayang-bayang ketakutan datang bergelayut dibenakku.
Ketika beberapa waktu lalu, sekelompok mahasiswa dari berbagai PTS di kota ini, mendatangi kantor kami di mana tempat aku bekerja, berunjuk rasa, menuntut ujian negara dihapuskan, bahkan menuntut pula Kopertis dibubarkan dengan alasan bahwa Kopertis tidak memberikan peluang kepada PTS untuk mandiri sejajar dengan Perguruan Tinggi Negeri dan banyak lagi alasan dibuat-buat yang tidak rasional.
“Hapuskan Ujian Negara!”
“Bubarkan Kopertis!” begitu teriak mereka serentak dengan suara gaduh dan lantang.
“Kami harap agar Pak Koordinator, memberikan klarifikasi kepada kami tentang keberadaan Kopertis, jangan kerjanya hanya melaksanakan ujian negara melulu yang sangat merugikan bagi kami mahasiswa” begitu orasi salah seorang yang mengenakan atribut almamater PTSnya, melalui megaphone mengaku dirinya koordinator lapangan.
Berangsur-angsur mahasiswa pengunjuk rasa dari berbagai PTS, berdatangan memenuhi pelataran parkir halaman depan kantor Kopertis IX, mereka meneriakkan yel-yel dengan kepalan tinju.
“Hidup PTS, hidup mahasiswa!”
“Hapuskan Ujian Negara!”
“Bubarkan Kopertis!” begitu teriak mereka berulang-ulang kali dengan nada emosi yang tak terkontrol. Untung, karena tak lama kemudian petugas Kepolisian segera datang mengantisipasi suasana kemungkinan terjadinya perbuatan anarkhis yang dilakukan oleh mahasiswa pengunjuk rasa.
“Diminta satu orang perwakilan mahasiswa dari masing-masing PTS untuk segera bernegosiasi dengan Bapak Koordinator” begitu teriak salah satu staf Kopertis melalui pengeras suara.
Suasana perlahan-lahan tenang ketika masing-masing perwakilan mahasiswa memasuki ruang rapat Kopertis.
“Adik-adik mahasiswa” begitu Pak Koordinator memulai bicaranya kemudian ia lanjutkan.
“Pembubaran suatu institusi yang resmi apalagi instansi pemerintah seperti Kopertis, saya kira tak semudah apa yang adik-adik mahasiswa bayangkan. Kopertis bukanlah perkumpulan arisan yang seenaknya begitu mudah untuk dibubarkan. Ada mekanisme yang harus ditempuh dengan berbagai pertimbangan yang matang, begitupula Ujian Negara. Silahkan adik-adik mahasiswa berhubungan dengan pusat, dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi karena keberadaan Kopertis dan pelaksanaan Ujian Negara ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, jadi tuntutan adik-adik mahasiswa salah sasaran.
“Sekalipun Pak Koordinator tidak berkata demikian, kami telah siap berangkat ke Jakarta dalam waktu dekat menemui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengusulkan pembubaran Kopertis, dan bilamana tuntutan kami tidak direspons oleh Koordinator, maka kami akan turun lagi membawa massa mahasiswa yang lebih banyak sepuluh kali lipat dari jumlah yang ada sekarang” ancam salah seorang perwakilan mahasiswa yang hadir dalam pertemuan itu, sambil beranjak mengajak teman-temannya untuk segera meninggalkan kantor Kopertis.
Massa mahasiswa pengunjuk rasa berangsur-angsur membubarkan diri dengan tertib sembari meneriakkan yel-yel.
“Hidup PTS, hidup mahasiswa!”
“Bubarkan Kopertis, hapuskan Ujian Negara!” begitu teriak mereka sambil meningalkan pelataran parkir halaman depan kantor Kopertis dengan mengendari sepeda motornya masing-masing, melahirkan suara bising maraung-raung memekakkan telinga menyisakan asap putih menyebar membumbung ke atas, memerihkan mata telanjang.

*********
Beberapa bulan kemudian. Hari masih pagi, namun rombongan mahasiswa PTS telah banyak berdatangan lebih awal memenuhi hampir seluruh koridor lantai 1 urusan bagian ijazah. Kali ini mereka datang tidak lagi memakai jaket atau atribut almamater, akan tetapi mereka masing-masing membawa sebuah map berisikan foto copy Ijazah yang hendak dilegalisir untuk dipakai melamar kerja di berbagai instansi pemerintah yang akan merekrut beberapa sarjana dari berbagai kualifikasi disiplin ilmu.
Ketika mereka menyodorkan Ijazahnya lewat loket yang telah tersedia, betapa kecewanya mereka ketika mendapat penjelasan dari karyawan petugas legalisasi, bahwa Kopertis tidak punya kewenangan lagi melegalisir Ijazah PTS. Mendengar penyampaian itu, mereka saling bertatapan heran menanyakan kenapa demikian, bahkan mereka tak mau mengerti bila Ijazahnya tidak dilegalisir.
“Kami telah mengajukannya pada panitia penerimaan calon pegawai, namun petugas disana menolak keras tidak mau mengerti dengan alasan bahwa harus dilegalisasi oleh pihak yang berwewenang dalam hal ini Kopertis Wilayah IX” sahut salah seorang dengan nada kesal.
“Kembalilah ke PTSmu masing-masing berikan Ijazahmu kepada pimpinan PTS saudara untuk dilegalisir, karena perubahan kebijakan ini telah ditetapkan dengan surat keputusan MENDIKBUD. Jadi saya harap agar saudara-saudara dapat menerimanya dengan lapang dada”.
“Kalau itu dapat dimengerti oleh panitia penerimaan calon PNS, kalau tidak, bagaimana nasib kami sebagai pemilik ijazah asal PTS” ketus salah seorang dari mereka mencoba bertahan ngotot untuk tetap dilayani”.
“Itu bukan urusan kami lagi, berilah pengertian sebaik mungkin, karena itu jauh sebelumnya telah diberi edaran bagi setiap instansi pemerintah maupun swasta” sahut petugas legalisasi sambil beranjak meninggalkan ke salah satu ruangan. Dan dengan perlahan, berangsur-angsur mereka meninggalkan ruangan legalisasi Ijazah dengan hati yang dongkol.
Hari hampir sore. Waktu telah menunjukkan pukul 15.00 siang. Disebuah bangku-bangku panjang terletak persis di depan pintu masuk ke ruangan legalisasi Ijazah, seorang perempuan muda masih saja duduk sendirian di situ, sambil memegang sebuah map warna merah muda. Dia mengenakan jilbab warna kuning telur, sangat serasih dengan kulitnya yang berwarna sawo matang. Ujung-ujung jilbabnya bergoyang tertiup pusaran angin siang. Aku berjalan menghampirinya lalu menyapanya.
“Apa perlu adik saya bantu” begitu tegurku menawarkan jasa baikku terhadapnya, sembari duduk didekatnya di atas bangku-bangku itu. Ia tidak segera menyahuti tanyaku merunduk ke bawah ubin keramik, sambil memegangi map ditangannya. Sesaat kemudian perlahan ia mengangkat wajahnya menatapku dengan kerut wajah yang sendu.
“Iya, terima kasih Pak” sahutnya lirih.
“Apa barang kali” ulangku bertanya sambil melempar senyum padanya.
“Sama dengan teman-temanku yang sudah pulang duluan berharap ijazahnya disahkan”
“Ouw, sangkaanku mereka datang berunjuk rasa menuntut Kopertis dibubarkan” kataku menyindir. Perempuan itu sejenak diam, lalu map yang dipegangnya dikibas-kibaskannya kearah tubuhnya menghalau gerah udara di siang itu.
“Jangan berprasangka buruk begitu Pak!” tak sejauh itu kami berbuat demikian, kami datang hanya meminta agar ijazah kami disahkan, karena ditempat kami melamar kerja untuk diangkat menjadi calon PNS, ditolak karena tidak dilegalisir oleh yang berwewenang dalam hal ini Kopertis IX” lanjutnya lagi sambil menatapku dengan nada miris.
“Maaf dik, saya tak dapat berbuat banyak karena Kopertis tak punya lagi kewenangan untuk melegalisir Ijazah PTS”.
“Kalau begitu, apa artinya ijazah ini, lebih baik saya sobek saja, daripada saya bawa kesini kemari, namun tak dapat dihargai sebagai Ijazah sarjana yang sah” begitu ancamnya emosi disertai tatapan mata yang berkaca-kaca menahan rasa sedih bergelayut dihatinya.
“Begini dik, temuilah Rektormu minta Ijazahmu dilegalisir, kemudian kembali lagi ke tempat pendaftaran di mana kamu melamar pekerjaan, berilah pengertian padanya bahwa telah terjadi perubahan berdasarkan surat keputusan MENDIKBUD, bahwa Ijazah sarjana PTS, cukup dilegalisir oleh masing-masing pimpinan PTS yang bersangkutan” kataku memberi pengertian padanya sembari menepuk pundaknya. Mendengar ucapku, ia mengangguk sedih lalu menghapus air matanya yang jatuh mengelinding membasahi wajahnya yang cantik.
“Terima kasih Pak” sahutnya lirih kemudian bangkit dari duduknya berlalu meninggalkanku di atas bangku-bangku itu.
Malam hampir larut, aku beranjak dari dudukku, berjalan tertatih-tatih menuju masuk ke kamar tidurku, diserang rasa kantuk yang tak tertahankan. Aku berupaya membuang jauh-jauh rasa ketakutan dihatiku, hingga aku terlelap pulas dari tidurku jelang pagi hari yang cerah.

oooOOOooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar